Pada masa Perang Dunia I, Australia digegerkan oleh seorang remaja perempuan yang begitu ingin turut perang, sampai-sampai ia nekat menyamar menjadi prajurit laki-laki dan menyelundup ke atas kapal tempur.
Dialah Maud Butler, yang saat melakukan tindakan nekat itu masih berusia 16 tahun. Dia saat ini menjadi obyek penelitan ahli sejarah bernama Profesor Victoria Haskins.
Butler berasal dari daerah bernama Kurri Kurri, negara bagian New South Wales. Meskipun pada akhirnya dia gagal sampai ke medan perang dengan menyamar menjadi laki-laki, kisahnya mengundang banyak perhatian dan dia sempat diwawancarai sejumlah surat kabar.
Saat diwawancarai setelah kembali ke Melbourne, hari Natal tahun 1915, Butler berkata bahwa dia sangat ingin membantu negaranya, "Namun, saya hanyalah seorang anak perempuan. Akhirnya, saya memutuskan melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri."
Butler yang banyak akal berhasil membeli beberapa bagian seragam perang dan memotong rambutnya menjadi pendek hingga terlihat seperti laki-laki. Dia kemudian menyelinap ke atas kapal bernama Suevic, yang sedang berlabuh di Teluk Woolloomooloo.
Hari berikutnya, dia keluar dari tempat persembunyiannya, yaitu di dalam salah satu kapal sekoci, kemudian bermain kartu dengan prajurit lainnya. Tak ada yang curiga.
Namun, sehari sesudah itu, seorang prajurit curiga karena Butler tidak mengenakan sepatu boot yang seragam dengan yang lain.
Sebenarnya, saat itu pun dia masih bisa ikut ke medan perang meskipun tidak terdaftar sebagai prajurit, tetapi begitu diberi tahu bahwa dia harus menjalani pemeriksaan dokter, Butler pun mengaku bahwa dirinya perempuan.
Kapten kapal pun berkata bahwa Butler harus dikembalikan ke Australia secepat mungkin. "Saat itu, saya menangis untuk pertama kalinya..." cerita Butler.
Pada masa itu, belum banyak kesempatan bagi perempuan. Para wartawan berasumsi bahwa Butler ingin bertemu kakak laki-lakinya di Mesir, tetapi saat itu kakak laki-lakinya justru belum terdaftar.
Butler bercerita kepada wartawan bahwa awalnya dia ingin terjun ke medan perang sebagai perawat. Ia datang ke Sydney dan berusaha bergabung dengan palang merah, tetapi gagal.
Ia bisa membantu Palang Merah di Australia, tetapi tak akan dikirim ke luar negeri.
Sudah ada ratusan perempuan, baik suster terlatih maupun sukarelawan, yang ingin ke medan perang. Bahkan, ada yang membayar demi bisa melakukan itu.
Namun, Butler lahir dari keluarga sederhana, jadi tak mungkin dia bisa membayar. Ayahnya seorang petambang batu bara yang membesarkan empat anaknya seorang diri. Butler sendiri saat itu mencari nafkah sebagai pelayan.
Profesor Haskins, yang meneliti Butler, menerima bantuan dana dari Arts NSW Centenary of Anzac Commemoration History Fellowship untuk meneliti dampak perang terhadap perempuan Australia.
Dialah Maud Butler, yang saat melakukan tindakan nekat itu masih berusia 16 tahun. Dia saat ini menjadi obyek penelitan ahli sejarah bernama Profesor Victoria Haskins.
Butler berasal dari daerah bernama Kurri Kurri, negara bagian New South Wales. Meskipun pada akhirnya dia gagal sampai ke medan perang dengan menyamar menjadi laki-laki, kisahnya mengundang banyak perhatian dan dia sempat diwawancarai sejumlah surat kabar.
Saat diwawancarai setelah kembali ke Melbourne, hari Natal tahun 1915, Butler berkata bahwa dia sangat ingin membantu negaranya, "Namun, saya hanyalah seorang anak perempuan. Akhirnya, saya memutuskan melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri."
Butler yang banyak akal berhasil membeli beberapa bagian seragam perang dan memotong rambutnya menjadi pendek hingga terlihat seperti laki-laki. Dia kemudian menyelinap ke atas kapal bernama Suevic, yang sedang berlabuh di Teluk Woolloomooloo.
Hari berikutnya, dia keluar dari tempat persembunyiannya, yaitu di dalam salah satu kapal sekoci, kemudian bermain kartu dengan prajurit lainnya. Tak ada yang curiga.
Namun, sehari sesudah itu, seorang prajurit curiga karena Butler tidak mengenakan sepatu boot yang seragam dengan yang lain.
Sebenarnya, saat itu pun dia masih bisa ikut ke medan perang meskipun tidak terdaftar sebagai prajurit, tetapi begitu diberi tahu bahwa dia harus menjalani pemeriksaan dokter, Butler pun mengaku bahwa dirinya perempuan.
Kapten kapal pun berkata bahwa Butler harus dikembalikan ke Australia secepat mungkin. "Saat itu, saya menangis untuk pertama kalinya..." cerita Butler.
Pada masa itu, belum banyak kesempatan bagi perempuan. Para wartawan berasumsi bahwa Butler ingin bertemu kakak laki-lakinya di Mesir, tetapi saat itu kakak laki-lakinya justru belum terdaftar.
Butler bercerita kepada wartawan bahwa awalnya dia ingin terjun ke medan perang sebagai perawat. Ia datang ke Sydney dan berusaha bergabung dengan palang merah, tetapi gagal.
Ia bisa membantu Palang Merah di Australia, tetapi tak akan dikirim ke luar negeri.
Sudah ada ratusan perempuan, baik suster terlatih maupun sukarelawan, yang ingin ke medan perang. Bahkan, ada yang membayar demi bisa melakukan itu.
Namun, Butler lahir dari keluarga sederhana, jadi tak mungkin dia bisa membayar. Ayahnya seorang petambang batu bara yang membesarkan empat anaknya seorang diri. Butler sendiri saat itu mencari nafkah sebagai pelayan.
Profesor Haskins, yang meneliti Butler, menerima bantuan dana dari Arts NSW Centenary of Anzac Commemoration History Fellowship untuk meneliti dampak perang terhadap perempuan Australia.
Sumber:http://internasional.kompas.com
1 komentar:
Demu berjuang membela bangsa dan negaranya, berbagai upaya tetap dilakukan
Post a Comment