Organisasi sayap perempuan sebuah kelompok hak sipil mendesak kaum perempuan Togo melakukan aksi mogok melayani suami selama sepekan untuk menuntut pengunduran diri presiden negara itu.
Para perempuan diminta tidak melayani suami atau pasangan masing-masing mulai Senin (27/8/2012), seperti disampaikan Isabelle Ameganvi, pemimpin sayap perempuan kelompok Let's Save Togo. Pemogokan itu akan menjadi tekanan bagi kaum lelaki Togo untuk bertindak melawan Presiden Faure Gnassingbe.
Ameganvi, seorang pengacara, mengatakan kepada AP bahwa organisasinya meniru langkah perempuan Liberia yang menggunakan mogok melayani suami pada 2003 untuk kampanye perdamaian.
"Kami punya banyak cara untuk memaksa kaum lelaki memahami keinginan perempuan di Togo," Ameganvi mengatakan.
Mogok melayani suami itu diumumkan pada sebuah rapat umum yang diikuti ribuan orang di ibu kota Togo, Lome, Sabtu (25/8/2012). Demonstrasi itu digalang sebuah koalisi yang memprotes reformasi elektoral. Menurut mereka, perubahan undang-undang pemilu itu mempermudah Partai Gnassingbe untuk kembali memenangi pemilu legislatif yang akan digelar pada Oktober mendatang.
Gnassingbe berkuasa mulai 2005, menyusul kematian ayahnya, Eyadema Gnassingbe, yang memerintah negara itu selama 38 tahun.
Gnassingbe tidak berkomentar tentang seruan mogok melayani suami itu. Demikian juga istrinya. Beberapa waktu lalu, dua unjuk rasa anti-Gnassingbe dibubarkan polisi, yang menggunakan gas airmata. Lebih dari 100 orang ditahan.
Pada unjuk ras Sabtu lalu, Jean-Pierre Fabre, pemimpin partai oposisi Aliansi Nasional untuk Perubahan, menuntut pengunduran diri Gnassingbe, sementara pemimpin oposisi lainnya menyerukan ketidaktaatan nasional.
Namun, seruan mogok seks itulah yang menjadi perbincangan di negara kecil berpenduduk enam juta orang itu.
"Bagus juga bagi kami perempuan untuk melakukan mogok melayani suami selama anak-anak kami dipenjara. Saya yakin kalau kita melakukan pemogokan ini, mereka akan dibebaskan," kata seorang ibu bernama Abla Tamekloe. "Bagi saya, ini seperti puasa, dan tanpa puasa, kamu tidak akan mendapatkan yang kamu inginkan dari Tuhan."
Ketika ditanya apakah suaminya akan setuju, Tamekloe menjawab, "Bagi saya mudah saja melaksanakannya. Saya sudah terbiasa, tapi saya tidak yakin suami mau menerimanya, tapi saya akan menjelaskan kepadanya."
Seorang perempuan Togo lainnya mau mendukung aksi mogok itu, tetapi dia tidak yakin bisa melakukannya seminggu penuh.
"Saya setuju kami para perempuan harus melakukannya. Akan tetapi, saya tahu suami saya tidak akan membolehkan saya menjalaninya seminggu penuh. Dia mungkin setuju pada awalnya, tapi setahu saya, dia takkan berubah pandangan setelah semalam," ujar Judith Agbetoglo.
"Jadi saya tidak yakin bisa mogok melayani suami seminggu penuh. Sebab, saya akan bermasalah dengan dia. Suami saya itu sangat menyukai," lanjutnya.
Meskipun seruan itu menarik bagi perempuan, sejumlah lelaki, termasuk para pemimpin partai-partai dan kelompok-kelompok HAM di koalisi anti-Gnassingbe, tidak yakin gerakan itu bakal sukses.
"Mogok seks seminggu itu terlalu lama," kata Fabre dari Aliansi Nasional untuk Perubahan. Dia mengusulkan jangka waktu yang lebih pendek.
"Kita lakukan dua hari saja," katanya yang disambut tawa para pengunjuk rasa.
Orang-orang lain menyikapi seruan Isabelle Ameganvi dengan sikap skeptis.
"Mudah saja dia bilang begitu karena dia kan tidak menikah. Dia juga tidak hidup bersama dengan lelaki," kata Ekoue Blame, seorang wartawan.
"Apakah dia mengira seorang perempuan yang tidak dengan suaminya bisa melakukan hal itu? Lagi pula, siapa yang bisa mengatur para pasangan di dalam rumah?"
Para perempuan diminta tidak melayani suami atau pasangan masing-masing mulai Senin (27/8/2012), seperti disampaikan Isabelle Ameganvi, pemimpin sayap perempuan kelompok Let's Save Togo. Pemogokan itu akan menjadi tekanan bagi kaum lelaki Togo untuk bertindak melawan Presiden Faure Gnassingbe.
Ameganvi, seorang pengacara, mengatakan kepada AP bahwa organisasinya meniru langkah perempuan Liberia yang menggunakan mogok melayani suami pada 2003 untuk kampanye perdamaian.
"Kami punya banyak cara untuk memaksa kaum lelaki memahami keinginan perempuan di Togo," Ameganvi mengatakan.
Mogok melayani suami itu diumumkan pada sebuah rapat umum yang diikuti ribuan orang di ibu kota Togo, Lome, Sabtu (25/8/2012). Demonstrasi itu digalang sebuah koalisi yang memprotes reformasi elektoral. Menurut mereka, perubahan undang-undang pemilu itu mempermudah Partai Gnassingbe untuk kembali memenangi pemilu legislatif yang akan digelar pada Oktober mendatang.
Gnassingbe berkuasa mulai 2005, menyusul kematian ayahnya, Eyadema Gnassingbe, yang memerintah negara itu selama 38 tahun.
Gnassingbe tidak berkomentar tentang seruan mogok melayani suami itu. Demikian juga istrinya. Beberapa waktu lalu, dua unjuk rasa anti-Gnassingbe dibubarkan polisi, yang menggunakan gas airmata. Lebih dari 100 orang ditahan.
Pada unjuk ras Sabtu lalu, Jean-Pierre Fabre, pemimpin partai oposisi Aliansi Nasional untuk Perubahan, menuntut pengunduran diri Gnassingbe, sementara pemimpin oposisi lainnya menyerukan ketidaktaatan nasional.
Namun, seruan mogok seks itulah yang menjadi perbincangan di negara kecil berpenduduk enam juta orang itu.
"Bagus juga bagi kami perempuan untuk melakukan mogok melayani suami selama anak-anak kami dipenjara. Saya yakin kalau kita melakukan pemogokan ini, mereka akan dibebaskan," kata seorang ibu bernama Abla Tamekloe. "Bagi saya, ini seperti puasa, dan tanpa puasa, kamu tidak akan mendapatkan yang kamu inginkan dari Tuhan."
Ketika ditanya apakah suaminya akan setuju, Tamekloe menjawab, "Bagi saya mudah saja melaksanakannya. Saya sudah terbiasa, tapi saya tidak yakin suami mau menerimanya, tapi saya akan menjelaskan kepadanya."
Seorang perempuan Togo lainnya mau mendukung aksi mogok itu, tetapi dia tidak yakin bisa melakukannya seminggu penuh.
"Saya setuju kami para perempuan harus melakukannya. Akan tetapi, saya tahu suami saya tidak akan membolehkan saya menjalaninya seminggu penuh. Dia mungkin setuju pada awalnya, tapi setahu saya, dia takkan berubah pandangan setelah semalam," ujar Judith Agbetoglo.
"Jadi saya tidak yakin bisa mogok melayani suami seminggu penuh. Sebab, saya akan bermasalah dengan dia. Suami saya itu sangat menyukai," lanjutnya.
Meskipun seruan itu menarik bagi perempuan, sejumlah lelaki, termasuk para pemimpin partai-partai dan kelompok-kelompok HAM di koalisi anti-Gnassingbe, tidak yakin gerakan itu bakal sukses.
"Mogok seks seminggu itu terlalu lama," kata Fabre dari Aliansi Nasional untuk Perubahan. Dia mengusulkan jangka waktu yang lebih pendek.
"Kita lakukan dua hari saja," katanya yang disambut tawa para pengunjuk rasa.
Orang-orang lain menyikapi seruan Isabelle Ameganvi dengan sikap skeptis.
"Mudah saja dia bilang begitu karena dia kan tidak menikah. Dia juga tidak hidup bersama dengan lelaki," kata Ekoue Blame, seorang wartawan.
"Apakah dia mengira seorang perempuan yang tidak dengan suaminya bisa melakukan hal itu? Lagi pula, siapa yang bisa mengatur para pasangan di dalam rumah?"
Sumber : AP / kompas
1 komentar:
perempuan Indonesia berani seperti itu gak ya?
Post a Comment