Singapura merupakan negara paling maju di Asia Tenggara, baik dari segi ekonomi, kualitas hidup, pendidikan, sampai penegakan hukum. Begitu banyak laporan yang bisa didapatkan mengenai kondisi jalanan dan sungai yang bersih, warga taat aturan, serta kualitas sumber daya yang bikin Singapura kompetitif sebagai pusat perdagangan maupun jasa.
Di balik kesuksesan itu, terutama status penduduknya yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga dunia, negara kota seluas cuma 718 kilometer persegi ini punya sisi 'kelam' yang jarang disadari. Yakni soal kebebasan pers dan pemberangusan semua hal yang dianggap oposisi atas pemerintah yang dikuasai Partai Aksi Rakyat (PAP).
Contohnya, di Singapura ada satu kata amat tabu. Jangan sampai media menulis tentang 'nepotisme' melibatkan keluarga mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw. Hal ini diungkap salah satu jurnalis magang di kantor berita asing cabang Singapura kepada merdeka.com beberapa hari lalu.
Kasus semacam ini pernah menimpa Bloomberg pada 2002 akibat melaporkan aroma nepotisme dari pergantian direksi BUMN Singapura, Temasek. Media asal Amerika Serikat itu digugat, kalah, membayar ganti rugi jutaan dollar, lalu terpaksa enyah ke Hong Kong. Negara kota itu masih menggunaan pasal karet 'niat jahat' atau malice.
"Di Singapura tidak ada Dewan Pers. Keberatan pemberitaan akan diajukan ke meja hijau. Koran yang dianggap punya niat jahat dari tulisannya bisa dibikin bangkrut," ungkap pria 22 tahun yang enggan disebut namanya ini.
Bila menilik data Journalist Without Borders, Indeks Kebebasan Pers terbaik terdapat di Finlandia, disusul Belanda, lalu Norwegia. Sementara Singapura, yang terhitung negara maju, justru terpuruk di posisi 150.
Jurnalis senior Singapura, Peter Ong, kini mukim di Australia, menceritakan ada banyak masalah, yang ditutup dari kesadaran publik. "Di sini kebebasan itu, terutama bagi pers, hampir tidak ada. Ya semua gara-gara pemerintah," ujarnya kepada merdeka.com saat ditemui di Nanyang Technological University, Singapura, Kamis (4/12).
Peter yang dulu pernah bekerja di harian bertiras terbesar Strait Times, menceritakan betapa pejabat negara di Negeri Merlion rajin menelepon redaksi supaya tak mengangkat isu tertentu.
"Gila-gilaan, itu salah satu alasan saya akhirnya pilih ke Australia supaya lebih tenang," akunya.
Sumber: www.merdeka.com
Di balik kesuksesan itu, terutama status penduduknya yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga dunia, negara kota seluas cuma 718 kilometer persegi ini punya sisi 'kelam' yang jarang disadari. Yakni soal kebebasan pers dan pemberangusan semua hal yang dianggap oposisi atas pemerintah yang dikuasai Partai Aksi Rakyat (PAP).
Contohnya, di Singapura ada satu kata amat tabu. Jangan sampai media menulis tentang 'nepotisme' melibatkan keluarga mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw. Hal ini diungkap salah satu jurnalis magang di kantor berita asing cabang Singapura kepada merdeka.com beberapa hari lalu.
Kasus semacam ini pernah menimpa Bloomberg pada 2002 akibat melaporkan aroma nepotisme dari pergantian direksi BUMN Singapura, Temasek. Media asal Amerika Serikat itu digugat, kalah, membayar ganti rugi jutaan dollar, lalu terpaksa enyah ke Hong Kong. Negara kota itu masih menggunaan pasal karet 'niat jahat' atau malice.
"Di Singapura tidak ada Dewan Pers. Keberatan pemberitaan akan diajukan ke meja hijau. Koran yang dianggap punya niat jahat dari tulisannya bisa dibikin bangkrut," ungkap pria 22 tahun yang enggan disebut namanya ini.
Bila menilik data Journalist Without Borders, Indeks Kebebasan Pers terbaik terdapat di Finlandia, disusul Belanda, lalu Norwegia. Sementara Singapura, yang terhitung negara maju, justru terpuruk di posisi 150.
Jurnalis senior Singapura, Peter Ong, kini mukim di Australia, menceritakan ada banyak masalah, yang ditutup dari kesadaran publik. "Di sini kebebasan itu, terutama bagi pers, hampir tidak ada. Ya semua gara-gara pemerintah," ujarnya kepada merdeka.com saat ditemui di Nanyang Technological University, Singapura, Kamis (4/12).
Peter yang dulu pernah bekerja di harian bertiras terbesar Strait Times, menceritakan betapa pejabat negara di Negeri Merlion rajin menelepon redaksi supaya tak mengangkat isu tertentu.
"Gila-gilaan, itu salah satu alasan saya akhirnya pilih ke Australia supaya lebih tenang," akunya.
Sumber: www.merdeka.com
0 komentar:
Post a Comment