Orang Indonesia kadung melihat Sang Pangeran Jawa itu sebagai
sosok serius, alim dan mungkin sedikit kaku. Namun di mata sejarawan
Inggris tersebut, Diponegoro justru merupakan sosok yang menarik dan
sangat manusiawi.
Peter Carey tak menduga
ketertarikannya terhadap Revolusi Prancis ternyata berujung kepada
sosok Pangeran Diponegoro. Ceritanya, suatu hari di awal tahun 1970-an,
ia tengah mengaduk-aduk dokumen lama terkait pengaruh revolusi Prancis
terhadap negeri-negeri luar Prancis di sebuah museum di Belanda.
Tiba-tiba matanya terbentur kepada sebuah litograf yang memuat sosok
Pangeran Diponegoro yang sedang diiringi oleh para prajuritnya.
“Sekonyong-konyong
saya merasa penasaran dan tertarik kepada sosok lelaki berwajah mistis
tersebut. Seperti ada sebuah misteri yang harus saya pecahkan,” ujar
sejarawan terkemuka dari Oxford, Inggris tersebut.
Peter lantas
memutuskan untuk meneliti hikayat sang pangeran Jawa yang lahir pada
1785 itu. Saat tiba di Indonesia, lelaki Irlandia tersebut menemukan
kenyataannya begitu populisnya Pangeran Diponegoro. Dari anak-anak TK
hingga kakek-kakek ompong, pasti hafal dengan sang pangeran yang selalu
ditampilkan berjubah putih itu.
Karena jubah putih ini, banyak
orang mengidentifikasi putra tertua Sultan Hamengku Buwono III
tersebut sebagai pejuang Islam yang puritan. Tapi benarkah pendapat
tersebut? Untuk mendapat jawabannya, Hendi Jo dari Islam Indonesia mewawancarai lelaki yang mengaku sudah "bergaul" dengan Diponegoro selama 40 tahun lebih tersebut. Berikut petikannya:
Peter,
setelah lebih 40 tahun anda melakukan penelitian terhadap kehidupan
Diponegoro, apa yang anda temukan dari sosok pangeran Jawa ini?
Saya
melihat Diponegoro sebagai sosok yang multidimensi. Suatu waktu, ia
bisa menjadi seorang tokoh mistik Islam. Tapi hari yang lain, ia juga
bisa berubah menjadi seorang sastrawan, pemimpin politik dan seorang
panglima perang. Dan soal terakhir ini, bahkan seorang Jenderal De Kock
(pimpinan operasi militer tentara Belanda dalam Perang Jawa) mengakui
kegigihan Diponegoro. Dia bilang, orang ini (Diponegoro) sepertinya
terbuat dari besi. Ya itu dikarenakan Diponegoro tidak kenal lelah
untuk terus bertempur dan bertempur
Itu kan yang bagus-bagusnya, anda melihat sisi manusiawinya dari seorang Diponegoro?
Oh
ya, itu pasti. Para seniman keraton Yogya kerap melukiskan Diponegoro
sebagai sosok menarik dan kharismatik (walau tidak bisa disebut ganteng
seperti Arjuna) hingga ia banyak disukai para perempuan. Secara terus
terang dalam Babad Diponegoro, sang pangeran pun tidak berlaku munafik
dengan mengakui kelemahannya “ yang mudah tergoda oleh perempuan”.
Terkait dengan soal ini, ada sebuah kisah menghebohkan ketika
Diponegoro terlibat skandal dengan seorang gadis Tionghoa yang menjadi
tukang pijatnya pasca kekalahan mereka di Gawok pada 15 Oktober 1826.
Awalnya gadis Tionghoa itu adalah tawanan perang yang diambil dari
wilayah Kedaren dekat Delangu.
Sebagai keturunan raja-raja Jawa, ia pasti memiliki banyak istri…
Oh
iya tentu saja. Ia memiliki 4 istri dan 4 selir. Dari mereka,
Diponegoro mendapatkan sembilan anak (lima putra dan empat putri).
Mungkin ini terdengar sangat buruk buat orang-orang zaman sekarang. Tapi
untuk era abad 19 hal tersebut dianggap wajar-wajar saja, terlebih
Diponegoro adalah seorang bangsawan yang pada waktu memang sangat biasa
memiliki banyak istri dan selir. Menurut saya tidak tepat menghakimi
masa lalu dengan standar masa kini
Konon dia juga memiliki sisi humor yang lumayan?
Ya.
Walaupun sumber-sumber Belanda sering menyebut nya sebagai lelaki
yang kaku dan keras, namun dalam kenyataanya Diponegoro juga seorang
humoris. Dalam autobiografinya yang ia tulis dengan huruf Arab pegon,
Diponegoro sempat menceritakan sebuah pengalaman lucu dari medan tempur
saat ia harus desak-desakan bersembunyi di balik sebuah pohon kweni
yang batangnya kecil dengan seorang pamannya yang bertubuh agak gempal.
Ia juga kerap mengirimkan pakaian perempuan kepada para panglimanya
yang dianggap pengecut.
Oh ya, ada sebagian kalangan yang menyebut Diponegoro sebagai tokoh Islam puritan, menurut anda?
Saya
tidak setuju dengan pendapat itu. Diponegoro adalah seseorang yang
sangat terbuka. Dalam keberagamaan, ia lebih cenderung menganut
kejawenisme: mempraktekan ritual mistik Islam sekaligus mengadopsi
sikap-sikap asketis yang diambil dari budaya Jawa: seperti ia sering
bersemedi di Pantai Selatan, gua-gua kapur di wilayah selatan Jawa.
Bahkan ketika mengklaim sebagai ratu adil (eru cokro), ia
menyebut-nyebut nama Sunan Kalijogo dan Nyi Roro Kidul.
Tapi
dalam buku Kuasa Ramalan yang anda tulis, disebutkan cita-cita
Diponegoro jika dirinya berkuasa adalah menerapkan hukum syariah?
Betul.
Tapi jangan bayangkan syariah yang disebut-sebut Diponegoro sebagai
syariah yang sering disebut-sebut oleh kalangan islam politik hari ini.
Memang ia selalu mengacu kepada Turki Ottoman (terutama dalam
struktur kepangkatan dan strategi kemiliteran). Namun jangan salah, ia
hanya menjadikan Turki Ottoman sebagai acuan politik untuk melakukan
gerakan. Kepada para haji yang baru datang dari Mekah, ia kerap
menanyakan "situasi politik terakhir" yang melanda Turki Ottoman. Ia
kagum terhadap Sultan Hamid dari Turki Ottoman dan menjadikan namanya
sebagai nama lain dari dirinya yakni Abdul Hamid.
Jadi seperti apa "negara syariah" yang Diponegoro maksud?
Saat
menuju tanah pengasingan di Sulawesi, kapal yang ia tumpangi melewati
Lombok, Flores dan Maluku. Kepada seorang perwira Belanda berkebangsaan
Jerman yang menjadi pengawalnya, ia katakan bahwa daerah-daerah itu
dahulu adalah negara-negara bagian di bawah Kerajaan Majapahit.
Diponegoro juga bernostagia betapa dahulu dirinya kerap berdebat
dengan Sentot Ali Basyah tentang negara yang akan mereka bentuk jika
menang melawan Belanda. Alih-alih mengacu kepada Turki, ia justru
menyebut ia akan mendirikan suatu negara seperti Majapahit namun dengan
menambahkan unsur-unsur Islam ke dalamnya.
Kita
tinggalkan pribadi Diponegoro, sekarang saya ingin bertanya kepada
anda: sejauh mana perlawanan Diponegoro berpengaruh terhadap pihak
Belanda?
Yang jelas korban nyawa mencakup angka sekitar 8000
tentara pribumi (tentara bayaran) dan sekitar 7000 bule totok. Di pihak
Diponegoro sendiri sekitar 200.000 orang tewas (penduduk Jawa totalnya
saat itu 45 juta jiwa), angka yang tentunya cukup berpengaruh
terhadap pengurangan jumlah penduduk pulau Jawa saat itu. Belum
ditambah 2.000.000 penduduk di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara
langsung terkena dampak perang tersebut.
Apakah ada
faktor campur tangan pihak luar negeri dalam Perang Jawa, terutama dari
Turki Ottoman karena terkait dengan solidaritas antar kaum Muslim
misalnya?
Sejauh ini dari sumber-sumber Turki Ottoman saya
belum menemukan mereka memberikan bantuan kepada pasukan Pangeran
Diponegoro. Tapi dari pihak Belanda, saya menemukan data bahwa telik
sandi pasukan mereka mencatat desas-desus adanya sebuah kapal
berbendera Inggris dan Amerika Serikat yang berlabuh di muara Kali
Progo menurunkan senjata api dan sejenis mesin pembuat mesiu. Kapal itu
katanya memiliki tujuan sebenarnya ke Manila di Filipina.
Begitu
alotnya perang tersebut, hingga katanya jika Belanda tidak melakukan
gencatan senjata dengan Imam Bonjol di Sumatera, kekuatan militer
mereka di Jawa akan hancur lebur?
Ya saya percaya itu.
Sebenarnya Belanda akan sangat kewalahan jika harus menghadapi dua
medan perang sekaligus. Makanya saat berhasil memaksakan gencatan
senjata di Sumatera, mereka langsung mengalihkan pasukan ke Jawa untuk
menumpas perlawanan Diponegoro. Setelah Diponegoro berhasil
tertaklukan, mereka pun balik menghantam Imam Bonjol kembali.
Ongkos perang itu tentunya sangat mahal…
Anggaran
Belanda yang tersedot untuk perang di Jawa itu sebesar 25 juta gulden
(setara dengan 2 milyar dollar). Karena kebangkrutan itu pula pada fase
berikutnya, Belanda membuat kebijakan tanam paksa untuk mengembalikan
kestabilan pundi-pundinya. Ya dari tanam paksa, mereka langsung untung
832 juta gulden (setara dengan 75 milyar dollar).
(Dalam
Sejarah Indonesia Modern, M. C. Ricklefs menyebut keuntungan sistem
tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda stabil:
hutang-hutang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan,
kubu-kubu pertahanan dibangun, terusan-terusan diciptakan, dan
jalan-jalan kereta api negara dibangun. Hal yang sebaliknya terjadi
pada masyarakat Jawa yang diperas: penyakit dan kelaparan bertambah
merajalela dan kaum miskin melonjak tinggi jumlahnya di desa-desa
Jawa).
Menurut anda, apa yang menyebabkan perlawanan Diponegoro gagal?
Konflik
internal. Pertama, adanya pecah aliansi antara Diponegoro dengan Kiyai
Mojo. Saat awal bergabung dengan Diponegoro, Kiyai Mojo sangat
berharap Diponegoro bisa mengangkat sekaligus menerapkan nilai-nilai
islam yang puritan. Alih-alih demikian, Diponegoro malah mengadopsi
kehidupan keraton ke markasnya yang bertempat di Goa Selarong. Selain
itu, gaya hidup Diponegoro yang lebih cenderung kejaweni dibanding
islamis membuat keduanya selalu terlibat dalam perdebatan dan
pertengkaran. Hingga akhirnya, Kiyai Mojo dan pasukannya keluar dari
barisan Diponegoro dan menyerah kepada Belanda. Kedua, saat Sentot Ali
Basyah (salah satu panglima Diponegoro) memberlakukan pajak untuk
ongkos perang terhadap rakyat, itu ibarat blunder. Kondisi rakyat yang
sengsara akibat perang tentunya merasa berat jika harus ditarik pajak
terus. Lama-kelamaan dukungan rakyat pun sirna. Alih-alih memberi
dukungan, mereka malah memboikot asupan logistik untuk pasukan
Diponegoro dan itu dilakukan dengan perlindungan tentara Belanda.
Banyak
kalangan bilang perjuangan Diponegoro semata-mata disebabkan oleh soal
tanah moyang Diponegoro yang diserobot oleh Belanda untuk pembangunan
jalan kereta api. Benarkah?
Itu tidak benar sama sekali.
Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda murni didasari oleh
ketidaksukaan sang pangeran terhadap tindakan sewenang-wenang yang
dijalankan oleh Belanda terhadap rakyat dan campur tangan Belanda
terhadap kehidupan di keraton. Buktinya, jauh sebelum peristiwa
penyerobotan yang terjadi pada Juli 1825 itu, pihak Diponegoro sudah
mempersiapkan logistik, amunisi dan mesiu hasil sumbangan para priyayi
dan kerabat-kerabat keraton yang tidak suka terhadap Belanda. Jadi
kejadian tersebut hanya sebagai salah satu pemantik saja.
Sebagai
peneliti yang sudah "bergaul" dengan Diponegoro selama 40 tahun lebih,
menurut anda bagaimana seharusnya orang Indonesia "memperlakukan"
Diponegoro?
Saya pikir orang Indonesia harus menciptakan
suatu sejarah yang sehat mengenai Diponegoro. Jangan sekali-kali
"menyandera" Diponegoro hanya sebagai milik golongan islam, nasionalis,
jawa, kaum santri semata. Caranya, bebaskan semua orang menulis apapun
tentang Diponegoro, baik itu sisi kemanusiannya, sisi militer, sisi
kesantriannya, sisi kepatriotannya bahkan sisi mistiknya sekalipun.
Semua harus dibedah
Sumber: http://www.islamindonesia.co.id/detail/1250-Peter-Carey-Diponegoro-itu-Seorang-yang-Terbuka-dan-Humori
1 komentar:
Sebuah fakta dari Pangerannya orang Indonesia
Post a Comment